Desir angin menyapu lembut kulit putihnya, menerbangkan geraian rambut panjangnya. Dia bernama Dina, seorang gadis remaja yang sedang duduk – duduk di teras rumah sambil menerawang jauh ke depan. Perasaan gundah menerpa, harus melewati hari – hari berat yang selalu membuat hatinya tersayat dan pilu. Hidupnya gelap, seakan tak ada cahaya dalam hidupnya.
Sejak kecil hidupnya diwarnai dengan dunia kemaksiatan. Paksaan orang tua dan lingkungan seakan mematikan harapannya untuk melanjutkan hidup. Dia hidup di lingkungan lokalisasi dan terpaksa harus menjadi bagian dari pelacur – pelacur di tempat ini. Setiap hari dia menangis, karena sebenarnya dia tidak mau menjadi pelacur, namun dia tidak bisa melawan kekejaman ibu tirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba bunuh diri, dari meminum cairan anti nyamuk hingga mencoba loncat dari gedung berlantai 7. Namun, selalu saja gagal karena dihalangi oleh ibu tirinya yang selalu memperlakukan dirinya bagaikan seekor kucing. Beberapa kali juga dia mencoba kabur, namun dia selalu terpergok oleh wanita yang tak punya nurani itu. Bahkan setelah itu, dia harus menerima cambukan – cambukan pedas akibat dari percobaan kaburnya yang sepertinya tidak akan pernah tercapai.
Dia memang disekolahkan oleh ibu tirinya di sekolah dekat rumahnya. Sekarang dia sudah duduk di kelas 1 SMA. Namun, dia hanya boleh mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas saja. Tidak boleh mengikuti kegiatan OSIS atau ekstra lainnya, karena dia harus bersiap untuk memoles wajah cantiknya dan berlaga sebagai seorang dewi yang sedang ditunggu oleh para pria – pria tak bertanggung jawab. Hidupnya monoton, hanya berkeliar di kawasan maksiat, rumah, dan sekolah. Di sekolah pun, dia harus menerima cercaan demi cercaan dari teman – temannya. “Gadis merah jambu” itulah sebutan yang diberikan oleh teman – teman SMA – nya karena mengetahui keadaan Dina. Hanya segelintir orang yang mau berteman dengannya , meskipun dia tergolong anak yang pandai, namun status sosialnya seakan tidak mau mengijinkan ada seorang pun yang berteman dengannya, jangankan berteman, hanya sekedar memanggil namanya saja tidak mau.
“Dina, ayo sini kamu! Cepat ganti pakaian putih abu – abumu itu dan ganti dengan baju ini!” , ibu tirinya menyeretnya ke kamar dan menyodorkan baju mini berwarna merah itu. Baju dengan hiasan blling – bling dengan panjang hanya se – paha, tak berlengan . Kalau di adat jawa dapat dikatakan “kemben”.
“Baik, Bu”. Dina pun hanya bisa menuruti kata – kata ibu tirinya, karena jika tidak, 50 cambukan bisa mendarat di tubuhnya. Dengan segera dia menanggalkan seragamnya dan mengganti dengan kemben merahnya.
Di beranda lokalisasi sudah tercecer wanita – wanita dengan pakaian serba mini itu, dengan lipstik merahnya seakan siap untuk menggoda para lelaki jalang yang datang kesana. Setiap lelaki yang datang seakan bebas memilih wanita mana yang akan diajak untuk bersenang – senang dengannya, asalkan sudah memperoleh kesepakatan harga dengan si pemilik lokalisasi yang tak lain adalah ibu tiri Dina. Dina yang sehabis berganti pakaian berjalan dengan leggokan khasnya yang mampu menyihir setiap lelaki yang datang. Merah menyala seakan melukis dirinya sebagai wanita tercantik di ruangan itu. Namun, dia tidak bisa menorehkan sedikitpun senyum, apalagi untuk bercanda. Dina memang wanita yang bisa dibilang terlaris, karena kemolekan tubuhnya dan parasnya yang cantik. Hal ini sangat menguntungkan bagi ibunya, karena Dina adalah wanita dengan bayaran termahal di tempat kotor itu.
***
Budi, seorang manager perusahaan Game yang sempat mendengar nama Dina sebagai seorang pelajar SMA yang menjalani hidupnya sebagai pelacur terlaris di kawasan lokalisasi yang kebetulan tidak jauh dari tempat kerjanya. Dia merupakan ayah dari dua orang anak, yang keduanya sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Memang, keluarga Pak Budi adalah orang terpelajar. Mendengar kabar tentang Dina, Pak Budi prihatin. Tidak adil bagi Dina harus mendapat perlakuan seperti itu .Seharusnya dia dapat menjalani hidup sebagaimana mestinya seorang anak.
Pak Budi berniat untuk mengambil Dina sebagai anak angkatnya, namun rasanya tidak mungkin untuk mengambil begitu saja dari orangtuanya. Beliau berpikir bagaimana cara yang harus dia pergunakan untuk membebaskan Dina dari tempat sesat itu. Setelah beberapa menit, beliau memeras otak, akhirnya ide untuk menyamar sebagai lelaki jalang pun terlintas di pikiran Pak Budi.
Tak membutuhkan waktu lama, malam itu juga setelah pulang dari kantornya, Pak Budi sengaja mampir ke tempat panas itu. Dia masuk di beranda lokalisasi, disana sudah ada beberapa wanita yang mengerlingkan mata ke Pak Budi, seakan berniat untuk menggoda dan memanggilnya. Seorang gadis dengan balutan gaun merah terlihat termenung sendirian di pojok ruangan. Dia gadis yang sangat cantik.
“Mungkin gadis itu yang bernama Dina “, terka Pak Budi.
Tiba – tiba seorang wanita paruh baya menghampiri Pak Budi dengan melempar senyum kepadanya, yang tidak lain adalah ibu tiri Dina, Bu Siti.
“Selamat datang, Bapak. Ada yang bisa saya bantu? Saya pemilik tempat ini.”
“Oh, iya. Perkenalkan saya Budi. Seperti biasa lah Bu, tentu ibu sudah tahu tujuan saya kesini. “
“Oh, begitu. Iya, iya. Silakan, Anda mau dengan wanita yang mana?”. Dengan entengnya wanita itu menawarkan para wanita yang ada di beranda itu, bak menjual barang dagangan saja.
“Saya dengar – dengar disini ada wanita yang paling cantik dan punya harga paling mahal ya Bu? “
“Betul, namanya Dina. Itu dia anaknya, gadis berbaju merah yang duduk di pojok ruangan. Mau saya panggilkan?”
Benar terkaan Pak Budi, gadis yang duduk di pojok ruangan itulah yang bernama Dina. “ Oh, itu Bu? Wah cantik ya? Boleh Bu, saya sama Dina saja. Tapi tidak usah dipanggilkan, biar saya sendiri yang memanggilnya. Terima kasih, permisi.”
“Iya, silakan.”
Pak Budi langsung menghampiri Dina yang sedang melamun di sudut ruangan. Dia sudah tidak memiliki daya tarik sama sekali untuk melanjutkan hal ini lebih jauh. Dengan tatapan sendu, Pak Budi memanggil Dina untuk masuk ke dalam bilik tempat para lelaki jalang memuaskan nafsunya terhadap wanita – wanita yang sudah dibayarnya.
Tak seperti biasanya, Dina merasa aneh karena pak Budi hanya diam memandangi Dina yang terus melamun di atas kasur. Pak Budi tidak dapat membayangkan lagi bagaimana perasaan Dina harus menjalani pahitnya hidup dalam lingkungan yang seperti ini. Pak Budi duduk di sebelah Dina dan memulai percakapan.
“Dina, saya tahu kamu sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini. Saya tahu kamu pasti tertekan. Saya sudah mendengar kisahmu dari rekan saya. Saya datang kesini bukan untuk memuaskan nafsu setan saya terhadapmu, melainkan ingin menolongu untuk keluar dari sini. Saya ingin mengangkat kamu sebagai anak saya, selayaknya anak - anak yang lain kamu juga seharusnya mendapatkan penghidupan yang layak.”
Dina menatap seorang paruh baya itu dengan pandangan seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Mana ada orang yang masih berhati mulia seperti ini?” , tanya Dina dalam hati. Dia hanya diam terpaku, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menatap lantai bilik itu yang warnanya terlihat sudah mulai memudar. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
“Bagaimana, Dina? Apa kamu keberatan jikalau saya angkat sebagai anak saya? Jika tidak, nanti saya akan berbicara dengan ibumu.”
“Emmm. Apa Bapak benar - benar akan menjadikan saya sebagai anak angkat Bapak? Sepertinya hal itu tidak mungkin. Bapak tahu sendiri ibu saya tidak akan menginjinkan hal tersebut.”
“Saya tahu ibu kamu tidak akan melepaskan kamu begitu saja, saya akan mencari jalan mengenai hal ini.”
Mereka masih bercakap - cakap cukup lama. Kemudian, Pak Budi menemui Bu Siti, beliau tidak mungkin memberitahu Bu Siti jikalau hendak menjadikan Dina sebagai anak angkat. Oleh karena itu, Pak budi beralasan berniat untuk menjadikan Dina sebagai istri keduanya dan akan membawa Dina pergi dari tempat setan itu. Awalnya Bu Siti tidak mengijinkan hal tersebut, namun Pak Budi tetap berusaha untuk membujuknya. Pak Budi pun mengajak Dina untuk pergi bersamanya, namun Pak Budi tidak lupa berpesan kepada Dina untuk berlagak seperti orang yang menolak untuk dijadikan istrinya.
***
Akhirnya Dina keluar dari sarang nenek sihir. Lega rasanya Dina bisa keluar dari tempat yang selama ini membuat dia lelah dan penuh dengan nestapa karena harus mengikuti segala kemauan nenek sihir yang selama ini memperlakukannya tidak lebih baik daripada seekor kucing. Hari - harinya berangsur membaik. Dia disekolahkan oleh Pak Budi di luar kota, karena Pak Budi khawatir jika masih berada di kota yang sama, hal ini akan diketahui oleh ibu tiri Dina. Dina masuk di sekolah favorit karena dia termasuk anak yang pandai.
Dina pun sekarang sudah memakai jilbab. Dia ingin memperbaiki dirinya yang selama ini akrab dengan dunia pelacuran dan kemaksiatan. Pak Budi mencarikan guru spiritual untuk Dina agar dapat membimbingnya ke arah yang lebih baik. Saat itu seusai shalat shubuh berjamaah dengan Pak Budi sekeluarga, Dina menangis seraya berdoa.
“Alhamdulillah, ya Allah. Engkau telah menyelamatkan hamba dari tempat nista itu. Hamba mohon ampun atas segala yang hamba lakukan selama ini, karena hamba terpaksa harus menuruti ibu tiri hamba. Alhamdulillah, Engkau telah mengirimkan Pak Budi untuk membawa hamba dalam kebebasan ini. Hamba tidak tahu harus mengucapkan kata - kata apalagi untuk - Mu. Hamba bertaubat nasuha untuk tidak mengulangi hal itu lagi. Tiada yang patut hamba sembah selain Engkau, ya Robbi.”
Bulir - bulir air mata menetes dari sudut ruang matanya. Tak terbendung lagi. Isak tangisnya memenuhi sudut ruang shalat itu. Dia merasa seperti mendapatkan rahmat dan hidayah yang tak terkira. Dia mendapatkan kemerdekaan dan kebahagiaan sejati. Dia dapat terbebas dari jeratan ibu tirinya dan dapat mengabdi pada Sang Khaliq. Pak Budi yang melihat hal tersebut hanya tersenyum lega, melihat anak angkatnya yang berangsur membaik. Yang dulunya menjadi orang pelacuran, kini telah berubah menjadi muslimah yang taat.
Setiap hari Dina melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa sunnah, dan tidak lupa untuk melantunkan ayat - ayat suci Al - Qur’an dengan suaranya yang merdu yang mampu menenangkan jiwa setiap orang yang mendengarnya. Hal ini juga mengantarkan dia menyandang gelar juara 1 MTQ tingkat nasional di akhir tahun kedua SMA dan juara 1 lomba MTQ se - Asia. Setamat dari SMA dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi Al - Azhar di Mesir.
Pak Budi mengaku sangat bahagia dengan hal ini. Ternyata gadis malang tersebut kini mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang lebih baik, yang memang semestinya ia dapatkan layaknya sebagai seorang anak, bukan diperlakukan sebagaimana kucing yang harus menuruti semua perintah ibu tirinya yang memaksanya sebagai seorang pelacur.
0 comments:
Post a Comment
Let's comment aboout this