Malam Kelabu

on Jul 17, 2011
Pagi itu, Elang menikmati dua tumpuk roti kotak panggang isi selai stroberi kesukaannya yang disela – sela itu sambil menyeruput teh hangat. Matanya menerawang, menatap keindahan alam dari kursi duduknya, melihat pemandangan kota Dieng. Menghirup udara segar di pagi ini. Desiran angin sepoi – sepoi seakan menyambut sang mentari yang mulai mengintip dari balik dedaunan diiringi kicau burung. Dia merasa sangat tenang dan lega bisa kembali ke rumahnya setelah beberapa hari berbaring di ranjang rumah sakit karena penyakit asmanya yang diderita sejak kelas 6 SD itu. Dia seakan sudah bosan dengan penyakitnya itu, karena sudah beberapa kali harus opname di rumah sakit.
Hari ini dia berencana untuk mengajak Vira, teman kuliah sekaligus kekasihnya itu untuk pergi jalan – jalan ke kebun teh. Sudah lama dia tidak pergi bersama dengan Vira gara – gara harus berbaring di ranjang dan berseragam pasien, sungguh hal yang sangat membosankan untuk Elang.
Vira adalah sosok yang cantik, rambutnya tergerai panjang dan ikal. Matanya menyorotkan kelembutan. Mereka bertemu saat di kampus, meskipun tidak sejurusan, namun mereka mengikuti beberapa acara dan kegiatan yang sama. Umur hubungan mereka mungkin belum tergolong lama, baru sekitar 3bulan. Namun, mereka terlihat sangat kompak dan menyenangkan. Pengertian di antara mereka membuat hubungan mereka harmonis.
Elang meletakkan cangkir tehnya ke meja dan meraih handphone kemudian memencet beberapa tombol untuk menghubungi Vira.
“ Halo, sayang. Habis ini aku jemput ya? ”, tanya Elang kepada Vira.
“ Oke, aku tunggu di rumah ya. ”, suara Vira di seberang telepon.
“ Sip! ”, tambah Elang.
Elang membereskan piring dan cangkirnya, kemudian menuju kamar untuk bersiap menjemput kekasihnya. Dia memilih polo merah dan celana jeans. Berdiri di depan cermin lemari.
“ Oke, aku siap bertemu dengan Vira. “, ujarnya menghibur diri.
Dia mengambil tas di atas tempat tidurnya, kemudian berjalan cepat menuju garasi untuk mengambil motor kesayangannya. Dia seakan sudah tidak sabar bertemu dengan Vira. Dia mengendarai motor dengan kencang. Tak lama kemudian dia sudah sampai di depan rumah Vira yang berjarak 3 km dari rumahnya. Dia lepas helm kemudian turun dari motor dan mengetuk pintu.
“ Permisi “, ketuk Elang.
“ Iya, sebentar.”, sahut ibu Vira sambil membukakan pintu untuk Elang.
“ Oh, nak Elang. Sebentar saya panggilkan Vira, sepertinya masih bersiap –siap di kamar. Ayo masuk dulu, menunggu di ruang tamu saja.“
“Iya, Bu. Terima kasih.”
Memang hubungan keduanya telah disetujui oleh orang tua mereka. Elang pun mengikuti ibu Vira yang telah mempersilakan dia untuk menunggu di ruang tamu.
“ Vira, nak Elang sudah menunggu di ruang tamu.”
“ Iya, Bu. Sebentar lagi saya selesai.”
Vira yang telah bersiap dengan kaos putih dengan blazer merahnya dan celana jeans biru gelap. Bando diikat di kepalanya membuat dia terihat cantik. Dia keluar kamar menuju ruang tamu, menatap Elang, sesaat kemudian mereka berdua tertawa.
“Loh, kita sama – sama pakai baju merah ya? ”
“Iya nih, kenapa bisa sama ya? Ya memang jodoh kali Vir.”
“Ayo kita berangkat. Sudah siap kan tuan putri?”
“Sudah pangeran.”
Vira tersenyum, dia sangat senang bisa berjalan bersama Elang setelah sekian lama.
Mereka berdua segera naik motor dan berangkat menuju kebun teh. Tidak lama kemudian sampai di kebun teh. Suasana hijau di kebun teh membuat Vira tenang. Dia bisa menghirup udara yang segar. Mereka berjalan di jalan setapak di antara dedaunan teh sambil berbincang.
“ Akhirnya aku bisa berjalan denganmu lagi setelah berbaring di ranjang rumah sakit. Sungguh, sangat membosankan.”
“iya, itu juga kan untuk kebaikan kamu.”
“Memang, tapi aku merasa sangat bosan , kecuali kalau susternya suster Vira mungkin aku merasa sangat senang.”, kata Elang sambil melirik Vira dan tersenyum.
“Oh, begitu. Aku sih males banget kalau punya pasien nakal seperti kamu ini.”
Mereka berdua tertawa dengan candaan yang mungkin sebenarnya tidak terlalu lucu. Namun, itu sudah membuat mereka senang. Mereka menghabiskan waktu di kebun teh hingga sore hari. Banyak hal mereka lakukan, dari bercanda, membantu memetik daun teh hingga makan di gubuk beratap rumbai disana.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. matahari sudah bersiap untuk bersembunyi di balik lelangit jingganya. Waktunya mereka beranjak dari tempat sejuk itu untuk pulang. Elang mengantarkan Vira untuk pulang.
“Aku pulang dulu, sayang. Sudah sore. Terima kasih untuk hari ini karena telah menemaniku ke kebun teh seharian.”
“Iya, tidak perlu berterima kasih begitu. Aku akan selalu menemanimu. Hati – hati ya.”
“Iya, kamu jaga diri baik – baik ya.”
“Siap Bos. Kamu juga jaga diri, jaga kesehatan.”
Vira bergaya seperti siswa SMP yang sedang hormat pada bendera merah putih. Elang tersenyum melihatnya dan segera mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Vira merasa ada yang aneh dengan kekasihnya hari ini. Dia tidak pernah berpesan untuk menjaga diri.
“Seperti mau pergi kemana saja.”, bisik Vira di dalam hati. Namun dia tidak berpikir apapun setelah itu. diapun segera menuju kamarnya.
Beberapa menit kemudian Elang sudah tiba di rumah. Dia segera mandi dan bersiap untuk makan malam bersama keluarganya. Setelah makan, mereka berbincang sebentar.
“ Bu, setelah ini saya mau pergi ke rumah Doni. Katanya dia sendirian di rumah karena orang tuanya pergi ke luar kota, jadi malam ini saya menginap disana.”
“ Oh, begitu. Ya sudah, ibu ijinkan. Tapi kamu hati – hati ya. Rumah Doni kan cukup jauh.”
“Baik, Bu.”
Ibu Elang sedikit khawati karena Elang selalu mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Handphone Elang berbunyi, terlihat nama Doni memanggil, kemudian dia mengangkatnya.
“Halo, Don.”
“Halo, Lang. Kamu jadi kesini kan?”
“Iya, nanti jam setengah 8 aku ke rumahmu.”
“Oke, aku tunggu.”
“Sip!”
Setelah makan malam, Elang bersiap – siap untuk berangkat. Dia berpamitan kepada Ibu dan bapaknya untuk menginap di rumah Doni. Dia segera mengendarai motor menuju rumah sahabatnya itu. Seperti biasa, dia tancap gas dan melaju dengan kecepatan tinggi. Sementara itu, Vira yang kebetulan tadi sore diajak ibunya pergi keluar kota karena ada acara keluarga. Dia mengirim sms kepada Elang, tapi tidak dibalas – balas karena dia sedang dalam perjalanan. Dia lupa belum memberi tahu Vira kalau dia malam ini menginap di rumah Doni. Vira mengira Elang mungkin masih makan malam dengan keluarnganya sehingga tidak membalas smsnya.
“Brakkkkkk.”
Suara tabrakan di jalan raya itu, antara motor dan bus. Orang – orang di sekitar jalan raya segera keluar melihat bagaimana tabrakan itu dan bagaimana kondisi korban. Pengendara motor sudah tidak sadarkan diri. Sebagian warga menelepon kantor polisi dan sebagian mencari identitas dari pengendara motor. Setelah ketemu KTP dari pengendara, warga segera menghubungi keluarga terdekatnya pada nomor telepon yang tertera di dompet korban.
“Selamat malam. Benar dengan kediaman Ibu Lestari?”
“Iya, benar. Maaf, ada apa ya Pak?”
“Putra Anda yang bernama Elang mengalami kecelakaan Bu. Sekarang di bawa ke Rumah Sakit Dieng.”
Ibu Elang yang menerima telepon itu langsung gemetar, air matanya menetes dan roboh ke lantai. Bapak Elang yang mengetahui hal itu, langsung mendekati istrinya dan bertanya ada apa sebenarnya sehingga dia roboh.
“E, E, Elang, Pak.”, jawab istrinya dengan terbata – bata.
“Iya, ada apa dengan Elang. Tenangkan diri dulu ya.”, sambil memberikan segelas air putih pada istrinya.
“Elang kecelakaan, Pak. Sekarang di bawa ke rumah sakit Dieng.”
“Ayo, kita kesana sekarang.”
“Ayo, Pak”
Bapak Elang segera mengeluarkan mobil dari garasinya untuk segera ke rumah sakit. Sementara itu, Vira masih gelisah karena sudah lebih dari 10 sms darinya belum juga dibalas oleh Elang. Dia khawatir dengan Elang, tidak biasanya dia seperti ini.
Tak berapa lama, kedua orang tua Elang sudah berada di rumah sakit. Elang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Dia belum sadarkan diri. Namun, sesaat kemudian dia sadar, meskipun tidak sepenuhnya. Dia minta maaf kepada kedua orang tuanya dan meminta untuk memberi kabar kepada Vira. Setelah itu, dia kembali pingsan. Dia mengalami banyak pendarahan. Kata Dokter kemungkinan hidup dia sangat kecil karena kehilangan banyak darah di kepala. Kedua orang tua Elang menunggu di luar karena sedang dilakukan penanganan oleh pihak rumah sakit.
Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajah lelahnya.
“Keluarga saudara Elang?”
“Iya, Pak. Bagaimana kondisi anak saya?”
“Maaf, Bu. Kami tidak sudah berusaha sekuat mungkin, namun Elang tetap tidak tertolong karena terlalu banyak kehilangan darah.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”
Sontak, ibunya langsung berlari masuk ke ruangan Elang dan menangis. Diikuti oleh suaminya yang lebih tenang pembawaannya meskipun tetap dengan raut sedihnya. Sebelum masuk ruangan, beliau menghubungi Vira dulu sesuai dengan permintaan Elang tadi. Tidak lupa juga menghubungi Doni karena tadinya Elang berniat menginap di rumah Doni. Doni pun langsung bergegas menuju rumah sakit.
Sontak handphone Vira terjatuh ke lantai. Dia langsung jatuh ke lantai kamar setelah mendapat kabar dari orang tua Elang. Vira seakan kehilangan seluruh tenaganya, lemas tak berdaya. Dia seakan tidak percaya secepat itu Elang meninggalkan dirinya. Baru saja tadi pagi dia berjalan bersama di kebun teh. Dia mendadak lemas, tak bertenaga. Dia menangis dan berteriak sehingga ibunya menghampiri Vira.
“Ada apa, Nak?”
“E, E, Elang,Bu.”
“Ada apa dengan Elang?”
“Dia meninggal, Bu. Tapi semua ini tidak benar kan,Bu?”
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.”
“Sabar ya, Vira sayang. Besok kita pulang, kalau sekarang tidak mungkin, karena hari sudah larut malam.”
“Sekarang saja, Bu. Vira ingin bertemu dengan Elang. Dia tidak mungkin meninggal, dia masih hidup.”
Vira masih belum bisa menerima kenyataan ini. Terlalu pahit dan terlalu cepat baginya. Baru tadi pagi mereka berjalan bersama tapi malam ini dia harus ditinggalkan oleh orang yang disayangiya. Dia tidak menyangka pertemuan di kebun teh menjadi pertemuan terakhir bagi mereka. Akhirnya dia mengerti dan menuruti kata ibunya untuk besok saja pulang Semalaman Vira tidak bisa tidur, dia hanya menangis dan menangis. Ibunya tidak tega melihat Vira seperti itu, akhirnya ketika jam menunjukkan pukul 5.00 pagi, mereka pulang dan langsung menuju rumah Elang. Vira lemas tak berdaya melihat orang yang dikasihinya terbujur kaku tak bernyawa. Bahkan dia tidak sempat melihat wajah Elang untuk terakhir kalinya, karena ketika dia datang, jenazahnya diberangktkan ke pemakaman. Teman – teman Vira yang datang saat itu berusaha menghibur Vira agar tidak larut dalam kesedihannya. Mereka pun mengikuti acara pemakaman Elang.
Setelah pemakaman itu, Vira pulang. Namun, dia masih belum percaya bahwa Elang sudah meninggal. Dia merasa bahwa Elang masih bersama dia. Namun, seiring berjalannya waktu dia menyadari bahwa memang Elang benar – benar sudah meninggal dunia. Namun, perasaannya pada Elang masih tetap ada. Dia pun masih sering mengirim sms ke nomor handphone Elang berharap Elang akan membalas. Dia percaya Elang akan selalu ada di hidupnya. Terkadang dia membuka – buka album foto, kenangannya bersama Elang selama ini.


0 comments:

Post a Comment

Let's comment aboout this